Sebatil darah yang ditadah saban pagi hari dalam paksa rela, sering kali diiring jijiran air mata.
Malu dan segan tidak mampu lagi menghinggap - sedangkan butiran air air kotor sudah jadi omongan seantero kamar pra mati.
Seisi salinan kulit kian kehitaman - kainan biru tidak mampu lagi menyorokkan jasad penuh kehinaan ini.
Dicandu berpurnama buatkan si mata raga putih semata - hitamnya nan menghilang, cerminan serakah jiwa yang bercelaru.
Apa waras atau edankah logamaya ku?
Akhirnya, yang tertinggal adalah kenangan sekilas masa di persisiran Tanah Abadi - buat dakapan memori agar jangan leka dan lupa diri. Nafsu jangan lagi kau izinkan memakan diri.
Nikmat manakah yang kau dustakan? Apa nikmat meneguk secangkir air putih kah - atau nikmat bertatih ke sana ke mari kah - atau nikmat menguis jari jemari kah?
Dalam kediaman yang seakan tidak bakal henti, kedengaran juga sayup-sayup suara suara kecil ibunda dan si bayi memanggil dari kejauhan, untuk kau berbahagia lagi. Untuk kau sabar dan tabah lagi.
Belum selesai. Lengkapkan dulu - kali ini dengan penuh maruah pula. Jenguklah semula ke luar tingkap tanpa kayu itu, dan pasakkan kembali kaki pada perjalanan alami yang kau sumpahi dulu.
Kerna sesungguhnya, ada yang masih menyayangi.
Kerna sesungguhnya, Dia masih sanggup memerhati.
Malam semalam gundah-gulana
Hari ini hari mulia
Tak pernah daku rasa begini
Seperti mati hidup kembali.
Bawa ku hilang dari ingatan
Hari ini sehingga esok
Tak pernah daku rasa begini
Seperti mati hidup kembali.
Hidup kembali.
Cheras, 10 Rab. I - 12 Raj.
No comments:
Post a Comment