9/7/19

Mendakap Semesta

Dakaplah semesta, dalam pilumu - agar lerai musnah segala amarah.
Kucuplah semesra, siang yang hangat - moga binasa seluruh angkuhmu.
Telanlah butir kemaafan, meski pedas - pedih - sawan; ini yang tertulis, maka inilah yang ternyaman.

Ada suatu keinsafan yang tertangguh, saat matamu bergenang titisan penuh kesedihan. Atas nama kasih, telah kau selami tanpa sebarang karenah dan persoalan. Meski laut dendam itu sungguh dalam. Meski ombak nazak makin jauh dari tenteram.

Akhirnya, segala ini adalah tentang agungnya suatu impian. Kita semua mahu menjadi sisa racun kehidupan yang diikhlaskan. Walau apapun suratan - dari dulu, sampai kini dan moga selamanya akan - hayat manusia ini adalah tentang mengecap manisnya keredhaan.

Dalam renungan pada sayup bintang malam, berbisik jiwa pada langit kelam;

Dengan lemah lembut, kau turunlah hai sang serakah hitam,
Tanpa kabus ribut, kau hadirlah tanpa kuku mencengkam.

Ujian sebesar mana, tetap tempuh jua - kerna zat asal bumi ini sudah benar-benar arif.

Arif tentang rasa semesta yang takkan selama senang.
Juga, arif tentang gejolak raga yang nanti bakalan tenang.

Umpamanya dakapan pilu dan kucupan hangat, saat menjelangnya pagi waktu. Yang berlalu, dan terus selalu.

7/25/19

Memorabilia


Dua tiga menjak ini, semakin kerap saya ditemukan oleh takdir pada memorabilia.

Dahulu, bila terlihat potret bunga kopi yang suci di warung kopi mewah, teringat saya pada bau harum yang menerawang di kebun kopi kesayangan nenek pada waktu Subuh berkabus.

Injak sewindu, malam-malam diisi mimpi kabut tentang kenangan di Rumah Tua. Terakhir kali saya ke sana, usai kembara sekilas di Tanah Abadi, kala kerabat saya bersiap menyambut hadirnya Ramadan.

Tiada yang ganjil - segala tersusun letak seperti telahan saya. Habuk itu masih bertebaran atas marmar-marmar sompek, jejaring lelabah terletak cantik di sudut-sudut kamar. Bibir pepinggan dan cecawan saling berpecahan, ditemani salinan lusuh bergantungan santai, ditiup angin yang dihala kipas separa mati.

Barangkali, ada dawai dendam berselirat mencucuk jiwa yang tidak terlihat. Apa ada roh zuriat lama yang tidak redha lagi? Sedangkan bila difikiri, hutang-hutang budi yang saya tandatangani lewat kekhilafan lampau sudah saya meterai.

Buat saat ini, itu sajalah yang mampu saya serahkan. Mungkin barang sepurnama dua, bisa saja saya kembali berbudi ke Rumah Tua.

Doakanlah.

7/12/19

Sekilas Di Tanah Abadi



Sebatil darah yang ditadah saban pagi hari dalam paksa rela, sering kali diiring jijiran air mata.
Malu dan segan tidak mampu lagi menghinggap - sedangkan butiran air air kotor sudah jadi omongan seantero kamar pra mati.
Seisi salinan kulit kian kehitaman - kainan biru tidak mampu lagi menyorokkan jasad penuh kehinaan ini.
Dicandu berpurnama buatkan si mata raga putih semata - hitamnya nan menghilang, cerminan serakah jiwa yang bercelaru.
Apa waras atau edankah logamaya ku?
Akhirnya, yang tertinggal adalah kenangan sekilas masa di persisiran Tanah Abadi - buat dakapan memori agar jangan leka dan lupa diri. Nafsu jangan lagi kau izinkan memakan diri.
Nikmat manakah yang kau dustakan? Apa nikmat meneguk secangkir air putih kah - atau nikmat bertatih ke sana ke mari kah - atau nikmat menguis jari jemari kah?
Dalam kediaman yang seakan tidak bakal henti, kedengaran juga sayup-sayup suara suara kecil ibunda dan si bayi memanggil dari kejauhan, untuk kau berbahagia lagi. Untuk kau sabar dan tabah lagi.
Belum selesai. Lengkapkan dulu - kali ini dengan penuh maruah pula. Jenguklah semula ke luar tingkap tanpa kayu itu, dan pasakkan kembali kaki pada perjalanan alami yang kau sumpahi dulu.
Kerna sesungguhnya, ada yang masih menyayangi.
Kerna sesungguhnya, Dia masih sanggup memerhati.
Malam semalam gundah-gulana
Hari ini hari mulia
Tak pernah daku rasa begini
Seperti mati hidup kembali.  
Bawa ku hilang dari ingatan
Hari ini sehingga esok
Tak pernah daku rasa begini
Seperti mati hidup kembali.
Hidup kembali.
Cheras, 10 Rab. I - 12 Raj.

10/20/15

Riwayat Cinta

Untuk waktu ini, nampaknya lagu-lagu air mata akan jadi peneman waktu senggang paling setia. Lagi.

Sentuhanmu yang pertama bagaikan madu menyiram asmara
Tapi itu hanyalah kepalsuan, tersingkir aku di dalam khayalan

Demi riwayat cinta.