12/20/10

Garisan

Taubat mengisi diri
Perlahan-lahan mengganti kegelapan.

Hikmah mencari ruang.
Selepas yang lama pergi,
Ku pohon padamu
Untuk aku insaf
Melutut memohon ampun dan maaf

Untuk setiap keingkaranku
Untuk semua kemungkaranku

Kau maafkanlah aku yang hina ini Ya Rabbi
Betapa banyak salahku padamu
Pada ummat
Pada alam
Pada ketentuanmu

Betapaku pohon hidayah
Untuk usaha ku yang kucurah
Saban hari aku berharapan

Kau perkenankanlah.

12/19/10

Hutang Budi

Pohon di dusun di tepi wakaf
Buah khuldi jangan dinanti
Jari tersusun memohon maaf
Seikhlas budi terkenang di hati.

Kampung Merapoh, Pahang.

12/17/10

Syahdu

Rasanya menusuk jauh
Getarnya sampai ke sanubari

Kelopak mata tak tertanggung lagi
Sampai terluahkan sendu perpisahan

Lurus nun di hadapan
Ada cahaya silau
Terangnya nyilu anak mata
Kita menari-nari
Malas berlari.
Cahaya, ada di sana saja. Tak kemana-mana.

Dengung-dengung nyaring
Sahut bersahut. Menyapa. Bertanya khabar. Layankan saja. Bagai beradik yang terpisah lama.

Senyum. Susah kita mencari erti. Persetankan. Nanti datang sendiri.

Syahdu hati ini. Mengenangkan kelahiran dan kepergian.

Selamanya kita menghadap takdir. Doa dipohon berbakul-bakul. Makbul tak makbul. Semua berhukum.

12/5/10

Menghargai Penghargaan.

Bagaimana mampu kita zahirkan kerinduan?

Bukankah aku sendiri yang berjanji menjauhi kenangan?
Tak mungkin sekali pun kita berpeluang.

Tiada antara kita semua yang mampu mengimbau lagi
Kita semua telah dihempas ke pantai keegoan.

Semua malas mencari lubang-lubang kesilapan
Yang boleh kita kambus bersama tanah budi

Tanah budi yang jadi pengikat antara jiwa kawanan yang hidup dan mati.

Harapan kita kini,
adalah untuk menebus maruah.

Setiap yang ada, kita terima seadanya.
Dan menghargai satu persatu.

Titis-titis percik air penuh haru.
Dari dasar landai laut pengamatan.
Menghasilkan keinsafan.

Tentang betapa berharganya masa lepas
dan bagaimana kita begitu angkuh untuk sanggup melupakannya.